

PERLAHAN media cetak di dunia dan di Indonesia berguguran. Di Amerika, Washingtonpost (Wapo) sudah menyerah dan dijual kepada Amazon. Jeff Bezos, si empunya Amazon menghapus edisi cetak Wapo, dan kemudian menerbitkannya dalam bentuk daring (online). Di Indonesia, kerajaan bisnis media Kompas Gramedia Group bahkan sudah menutup beberapa tabloid dan majalahnya. Terakhir adalah tabloid Bola.
Perkembangan teknologi informasi, baik hardware maupun software, telah mengubah dunia ini secara fundamental. Dalam bidang media, disrupsi sering dipahami salah kaprah. Banyak yang beranggapan bahwa media harus terjun ke dalam dunia online. Pemahaman seperti ini memang tidak salah, tapi banyak yang salah strategi. Dengan kehadiran internet, maka berita pun harus masuk ke dunia internet. Betul memang, tapi banyak hal yang lebih dari sekadar itu.
Kebanyakan menghadapi dunia digital ini media memahaminya sebagai hanya mendaringkan (meng-online-kan) konten print. Padahal disrupsi itu bukan cuma mengubah cara bisnis, akan tetapi juga -menurut Rhenald Khasali- mengubah fundamental bisnis bahkan ideologi bisnis itu sendiri. Kebanyakan media berharap bahwa model bisnis media cetak (yang mengandalkan kepada langganan dan pendapatan iklan) akan bisa sukses ketika dibawa ke ranah daring. Kenyataannya sungguh mengecewakan. Tarif iklan di portal berita sangat murah, dan gratis. Walhasil model bisnis iklan dan langganan tidak bisa menggantikan pendapatan iklan di media cetak.
Akhirnya media cetak berguguran. Koran pun tidak dibaca orang karena masyarakat bisa mendapatkan informasi dengan cepat dari gawai (gadget).
Hal yang bisa mempercepat turunnya koran adalah:
- Semakin sedikitnya pabrik kertas yang memproduksi kertas ukuran koran akibat permintaan yang menurun. Mereka lebih suka memproduksi kertas untuk buku. Akhirnya, kertas koran semakin langka dan mahal.
- Isu lingkungan yang semakin menekan penebangan pohon sehingga mengurangi bahan baku kertas.
- Semakin sedikit orang yang mau menjadi loper koran. Bila memiliki sepeda motor, orang tersebut lebih memilih jadi pengemudi ojek online. Keuntungan dari menjadi loper jauh lebih kecil dari pendapatan sebagai pengemudi ojek online.
- Para pemasang iklan tidak lagi melihat iklan display di media cetak sebagai sarana yang efektif beriklan. Iklan digital lebih disukai, bisa viral dan kesuksesannya lebih terukur karena data dan metadatanya tersedia.
- Produsen lebih suka mendekatkan lagi brand-nya kepada masyarakat dalam bentuk aktivitas (brand activation)
Lalu bagaimana cara mempertahankan media cetak?
Shift atau hijrah dari cara berpikir seperti di atas (mempertahankan media cetak). Sebab ini dari bisnis media adalah service atau layanan.
Bagi media dengan brand yang sudah kuat, sebetulnya kemungkinan untuk survive bisnisnya sangat terbuka luas. Caranya: buat inovasi out of the box dengan memanfaatkan brand. Apalagi brand yang sudah terkenal, lama dan punya kedekatan dengan komunitas dan lokalitas dia berada.
Dalam pandangan saya, Tabloid Bola gagal survive karena tidak melakukan shifting di era disrupsi. Sebetulnya, dengan brand yang sudah kuat, Bola bisa memanfaatkan brand-nya untuk membuka model bisnis baru.
Bola sebetulnya bisa menjadi event organiser untuk acara-acara olahraga Justru peran ini yang diambil alih Kompas. Setiap tahun Kompas melakukan Kompetisi Sepakbola Usia Dini Liga Kompas. Semestinya Bola bisa menjadi brand yang menjadi penyelenggara kompetisi berjenjang sepakbola usia dini, yang tidak digarap serius oleh PSSI. Bola seharusnya bisa menyelenggarakan fun sport yang mendorong olahraga sebagai life style kelas menengah atas. Pangsa pasarnya bisa untuk perusahaan-perusahaan swasta.
Pada 10 November 2018, Pikiran Rakyat mengadakan acara Bandung Lautan Daihatsu (Balad Daihatsu). Daihatsu ingin mengaktifkan brand-nya (brand activation). Sekitar 5000 kendaraan merk Daihatsu berhasil dikumpulan, lebih dari 50 komunitas Daihatsu terdaftar, dan lebih dari 25 ribu massa komunitas Daihatsu teregistrasi. Ini adalah event terbesar dalam sejarah eventi otomotif, yang bisa mendatangkan 30.000 massa, dan 5000 kendaraan dalam sehari. Di hari itu, Daihatsu membukukan penjualan sebanyak 93 kendaraan berbagai jenis.
Peristiwa itu kemudian muncul di media-media grup Pikiran Rakyat dengan berbagai platform: cetak, online, kanal youtube, Radio PRFM 107.5, Fanpage, Instagram, Twitter dan instant messaging media seperti Whatsapp, Line dan Telegram. Iklan pun muncul di berbagai platform PR itu. Ekor dari acara itu adalah media sosial Balad Daihatsu berisikan anggota-aggota aktif pemilik Daihatsu seJawa Barat, dan ini menjadi data based yang pengelolaannya ditawarkan oleh Pikiran Rakyat. Intinya adalah monetisasi komunitas.
Jadi, sebetulnya era disrupsi menawarkan model bisnis baru yang tak terbatas, asalkan pengelola media mau shifting. Kalau media digital disikapi dengan cara lama, tentu tidak akan menawarkan sesuatu yang baru. Sekali lagi, dunia digital jangan dihadapi dengan sikap “meng-online-kan” konten cetak. Kalau cuma itu, maka yang berubah adalah medianya, tapi visi misi-nya tidak berubah, fundamental bisnisnya tidak berubah.
Kunci dari dunia digital adalah: Inovasi! Platform media menyusul kemudian. Sekali inovasi tercipta, semua platform akan bekerja. Jangan sampai kita membeli platform, tapi tidak diisi apa-apa.***