

Alan Lightman: Keluar dari Otoritas, Dari Reference ke Simbol
Kapan seseorang secara etika boleh keluar dari otoritas dia? Sebelum itu, saya ingin memperkenalkan hierarki intelektual publik, menurut Alan Lightman.
Level I : Intelektual publik berbicara tentang disiplin ilmunya. Dia belum mengaitkan disiplin ilmunya dengan realitas sosial di sekitarnya.
(Catatan: mungkin level ini cocok dalam penulisan buku ilmiah populer, tidak cocok untuk media massa karena artikel di media massa selalu dikaitkan dengan persoalan aktual masyarakat. Artikel di koran adalah newspeg atau terkait dengan berita.)
Kawan saya, Dr. T. Djamaluddin adalah ahli matahari di LAPAN. Beliau banyak menulis buku soal astronomi, matahari dsb. Ini adalah level 1.
Level II: Si intelektual publik mulai menggunakan disiplin ilmunya untuk menganalisis persoalan sosial kemasyarakatan.
Setiap menjelang Idulfitri, umat Islam selalu berbeda pendapat tentang jatuhnya hari suci itu. Nah, di sini Dr. T. Djamaluddin mulai membahas soal ini dengan pendekatan astronomi. Maka di sini disiplin ilmu dia diterapkan untuk menjawab persoalan kemasyarakatan.
Level I dan II tetap menuntut otoritas. Level I dan II mendorong si penulis menjadi rujukan publik (public reference).
Lalu, kapan seseorang boleh keluar dari disiplin ilmunya? Menurut Alan Lightman, seseorang secara etika boleh keluar dari disiplin ilmunya, kalau ada permintaan publik!! (by invitation only)
Dan berarti dia memasuki Level III:
Setelah menjadi rujuan publik sekian lama, publik mungkin ingin mengetahui apa pandangan si intelektual publik tentang hal lain. Ini terjadi pada Albert Einstein. Sekian puluh tahun orang mengenal Einstein sebagai jenius fisika. Lama kelamaan, orang ingin tahu apa pandangan Einstein tentang agama, etika dan pendidikan. Maka Einstein banyak diundang menulis dan berbicara soal-soal di luar fisika, seperti etika, seni, budaya dan agama. Bahkan setelah pensiun, Einstein tidak banyak berbicara soal fisika, dia lebih banyak bicara tentang filsafat, etika dan agama.
Nah, ketika ada permintaan publik seperti ini, seseorang boleh keluar dari disiplin otoritasnya. Seseorang yang sudah melewati Level III ini sudah bukan lagi hanya referensi publik. Dia sudah menjadi simbol masyarakat. Dia menyuarakan susah dan gembiranya masyarakat.
Menurut saya orang-orang semacam Prof. Selo Soemardjan Almarhum, Nurcholish Madjid, dan banyak tokoh yang masih hidup lainnya sudah menjadi simbol.
Jadi, ikutilah alurnya Alan Lightman ini. Bersabarlah, dan taatlah pada otoritas, sampai suatu saat publik meminta Anda keluar dari otoritas.
Banyak penulis pemula yang mengawali karir menulisnya terbalik. Mereka menulis berbagai hal. Mending kalau akhirnya menjadi satu, akan tetapi banyak yang terus menulis banyak hal.
BUNG Danny Lim dari Belanda menanyakan, mengapa Bung Karno yang berlatar pendidikan arsitektur THS (ITB sekarang) menulis soal-soal politik?
Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya, pada diri manusia melekat berbagai macam otoritas. Bung Karno seorang berlatar belakang arsitektur. Dia juga seorang aktivis pergerakan. Maka saya melihat Bung Karno menggunakan otoritas sebagai orang pergerakan. Otoritas memang tidak selalu terkait dengan latar belakang pendidikan. Otoritas bisa juga karena aktivitas yang terus menerus, organisasi dan lain-lain. Yang penting, sekali lagi, jangan mengumbar terlalu banyak otoritas.
Soal Bung Karno ini juga bisa kita bahas dari posisi dia sebagai mahasiswa. Saya kira,ada sebuah otoritas kolektif dan spesial untuk mahasiswa. Mahasiswa secara kolektif merupakan moral force. Karena itu, mahasiswa –apa pun fakultas atau jurusannya– punya otoritas membahas persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Namun, kalau membahas soal-soal teknis seperti teknologi, arsitektur dan sebagainya, si mahasiswa harus punya otoritas khusus, sesuai dengan latar belakang fakultas atau jurusannya.***
One thought on “Intelektual Publik : Filosofi Menulis di Media Massa (3)”