

JADI, apa itu intelektual publik? Saya ambilkan definisi New York Times tentang intelektual publik (public intellectual). “Intelektual publik adalah seseorang yang memiliki pengetahuan (knowledge), otoritas (authority), tentang isu-isu aktual (issues of the day), dan memiliki kemampuan menyampaikannya kepada publik.”
Jadi ada empat hal yang menyebabkan seseorang menjadi intelektual publik: pengetahuan, otoritas, isu aktual, dan bahasa populer!
Pengetahuan dan otoritas
Seorang lulusan fakultas ilmu politik, mungkin saja punya pengetahuan (knowledge) tentang kedokteran, misalnya karena lingkungan keluarga atau teman-temannya adalah dokter. Namun, ketika dia berbicara di depan publik, atau menulis di ruang publik, adalah tidak etis berbicara soal kedokteran, sebab dia tidak punya latar belakang kedokteran. Dia punya pengetahuan, tapi tidak punya otoritas.
Jadi, Anda harus fokus menulis apa yang menjadi otoritas Anda. Banyak penulis pemula yang ingin terlihat cerdas dan menguasai masalah. Dia menulis apa saja, mulai dari krisis kacang kedelai, astronomi, pilkada, hingga persoalan Timur Tengah. Mungkin tulisannya bagus dari segi materi. Namun tetap saja dia melanggar etika intelektual publik.
Pada diri seseorang mungkin saja melekat berbagai otoritas. Dewi Lestari (Dee) misalnya. Dia adalah novelis, dia seorang ibu rumah tangga, dan dia seorang penyanyi. Maka Dee boleh berbicara soal novel, soal rumah tangga, atau soal dunia entertain. Namun etika intelektual publik membatasi seseorang untuk tidak mengumbar otoritasnya. Biasanya makasimal dua otoritas. Tiga masih sopan, tapi sudah agak abu-abu.
TIDAK perlu merasa terpenjara dengan otoritas. Sebab, dengan otoritas malah kita bisa melihat persoalan dari sisi yang lain.
Pernah seorang perempuan mengeluh kepada saya betapa latar belakang dia sebagai guru taman kanak-kanak membatasi dia untuk mengupas kota Bandung. Saya minta dia memeras otak untuk meninjau kota Bandung dari segi perkembangan anak. Lumayan, dia bisa menulis kota Bandung dengan baik, dan dia bisa menyimpulkan betapa kota kembang ini bukan sebuah children-friendly city. Bandung ternyata kota yang tidak ramah kepada anak-anak.
Setiap keluar rumah menuju sekolah, anak-anak Bandung “menggadaikan” nyawanya ke jalan-jalan besar. Kasihan, ketika menyeberang menuju sekolah, anak-anak kita senantiasa terancam tertabrak oleh kendaraan.
Jadi, tidak perlu merasa terbelenggu oleh otoritas.
OTORITAS diperlukan agar seseorang menjadi rujukan publik untuk isu-isu tertentu. Seseorang menajdi intelektual publik, jika publik secara otomatis mengaitkan isu tertentu dengan namanya. Misalnya, ketika ada persoalan ekonomi, tiba-tiba publik teringat kepada Faisal Basri. Ketika ada isu lingkungan hidup, publik tiba-tiba ingat nama Otto Soemarwoto, dst. Maka Faisal Basri dan Otto telah menjadi rujukan publik untuk isu terkait.
Seseorang menjadi rujukan publik karena dia sering menulis satu bidang yang menjadi spesialisasinya, selama bertahun-tahun. Karena itu, sekali lagi, menulislah apa yang menjadi otoritas Anda. Jangan menulis banyak hal, karena menulis seperti ini akan menjadikan Anda lebih sebagai intelektual selebriti. Mungkin nama Anda sering muncul, tapi publik semakin mengetahui betapa pengetahuan Anda ternyata dangkal (the more public he is, the less intellectual).
Nah…kalau pun Anda sudah mulai fokus pada otoritas, perhatikan pula frekuensi kemunculan Anda di media massa. Jangan terlalu sering. Dua bulan sekali di media massa yang sama sudah cukup. Beberapa koran, seperi Kompas di antaranya, membatasi kemunculan tulisan dari seseorang yang sama, selama dua minggu.
Karena itu, beberapa media mengharuskan penulis pemula untuk menyertakan CV ringkas. Tujuannya untuk mengetahui keterkaitan latar belakang si penulis dengan tulisannya. Seseorang yang menulis di luar otoritasnya, maka tulisan itu dikategorikan sebagai surat pembaca saja.***
One thought on “Intelektual Publik: Filosofi Menulis di Media Massa (2)”