Intelektual Publik: Filosofi Menulis di Media Massa (4)

Jalur Otoritas

KALAU saya transformasikan pemikiran Alan Lightman ke dalam bentuk visual, kira-kira grafisnya akan seperti di samping ini. Hierarkhi I dan II memerlukan otoritas (atau kalau menurut komentar pak Nanang, kompetensi). Tujuannya, agar si pemikir itu menjadi referens publik untuk isu-isu tertentu.

Hierarkhi III dicapai ketika ada public invitation, atau permintaan/undangan publik. Memasuki hierarki III ini, jalurnya berwarna biru. Artinya seseorang sudah menjadi simbol masyarakat. Dia yang menyuarakan sakit atau gembiranya rakyat.

Berwarna biru, karena saya ingin menekankan bahwa meskipun ada permintaan publik, maka si intelektual itu harus mempertimbangkan masak-masak. Di situ ada titik kritis yang menentukan kebesaran nama dia.

Begitu ada permintaan publik supaya Anda berbicara di luar otoritas Anda, maka pikirkanlah dengan matang apakah Anda akan menerima atau menolak. Bila Anda menerima, maka sadarlah bahwa Anda menapaki jalur biru. Perhatikan garis responsibility-nya pun makin meningkat. Ketika Anda menjadi simbol, maka tanggungjawab moral dan sosialnya ikut meningkat.

Nah, jika di jalur biru ini seorang intelektual melakukan kesalahan, atau sesuatu yang menurut publik salah, maka habislah dia. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), saya ingin mencontohkan sebuah pelajaran berharga. Aa Gym sebetulnya sudah menjadi simbol, meski bukan berangkat dari jalur intelektual publik.

Ketika beliau melakukan sesuatu yang dianggap salah (poligami), maka runtuhlah citra yang sudah belasan tahun dia bangun. Nama beliau sudah tidak kredibel lagi di mata publik. Beberapa contoh lain, Ibu Lutfiah Sungkar yang perceraiannya menjadi bulan-bulanan infotainmen. Juga ada Amir Santoso yang hampir jadi profesor, terjerembab karena terbukti plagiat.

Ada contoh tokoh yang sebetulnya sudah layak menjadi simbol, tetapi menolak untuk menapaki jalur biru: Pak Otto Soemarwoto. Sebagai redaktur opini Pikiran Rakyat, saya kadang tergelitik untuk mengetahui pandangan almarhum tentang pendidikan, agama, etika, dan lain-lain. Ketika saya meminta beliau untuk menuliskan pandangan-pandangan yang keluar dari otoritas beliau sebagai pakar ekologi, beliau tetap menolak dengan halus. Sampai akhir hayatnya di 2008 ini, nama beliau tetap harum tanpa cela.

Jangan Jadi Intelektual Selebriti

Jangan juga “Big Brain, Small Impact. Jangan sering ingin muncul di media massa atau di depan publik, nanti kita akan terjerembab jadi intelektual selebriti. Seorang intelektual publik harus tahu kapan dia muncul di depan publik, atau di media massa.

Banyak teman-teman IT di ITB mencak-mencak kepada Roy Suryo. Mereka menuding Roy tidak punya kompetensi. Mereka menilai Roy lebih sebagai seorang selebriti, karena Roy selalu berusaha tampil di setiap momen: infotainment, pencarian black box Adam Air, sampai penemuan lagu Indonesia Raya versi yang lain dari yang sekarang.

Namun, teman-teman di ITB hanya bisa ngomel-ngomel. Mereka jarang menuliskan pendapatnya ini di media massa. Ya akibatnya, Roy lah yang menguasai jagat opini per-telematika-an.

Mungkin benar Roy adalah intelektual selebriti, namun teman-teman ITB yang enggan jadi intelektual publik juga bisa kita golongkan ke dalam kaum Big Brain, Small Impact.

Bersambung…

One thought on “Intelektual Publik: Filosofi Menulis di Media Massa (4)”

Leave a Reply

%d bloggers like this: