KALAU kita kembali ke definisi New York Times, syarat lain untuk disebut sebagai intelektual publik adalah bahwa dia mampu membahas persoalan-persoalan aktual atau issues of the day. Membahas isu aktual tanpa menyertakan pembahasan metodologi atau konsep sehingga bisa diterima publik.
Saya mencoba membuat model level analysis intelektual publik seperti di bawah ini:
Gambar di atas adalah model dua segi tiga yang saling terbalik. Model ini menggambarkan hubungan antara level isu yang dibahas dengan kemungkinan jumlah audiensnya.
Kalau kita menulis hal-hal konseptual (pada blok paling atas dari kedua segitiga), maka di sebelah kanan akan terlihat bahwa audiensnya terbatas. Paling yang tertarik membaca adalah para pakar di bidangnya. Publik tidak ada urusannya dengan tulisan-tulisan semacam ini. Tulisan-tulisan seperti itu adalah porsinya jurnal ilmiah (scholar journal).
Pada level yang lebih rendah, misalkan si intelektual publik sudah mulai mengoperasionalkan konsep itu menjadi semi konseptual dalam menganilisis persoalan aktual, maka pembacanya sudah mulai meluas, namun masih terbatas. Audiensnya sudah mulai meluas, tidak hanya kaum akademis atau kawan se level, namun juga publik kalangan intelektual menengah ke atas.
Nah, jika si intelektual publik sudah mulai semakin mengoperasionalkan konsep dalam membahas persoalan sehingga menyentuh kepentingan publik, maka tulisannya akan dibaca oleh semua kalangan (all audiences).
Intelektual publik bergerak dari level dua ke bawah. Dia tidak mengawang-awang di level atas. Level dua ke bawah adalah ruang gerak intelektual publik.
Karena itu, jika Anda ingin menulis di media, jangan menulis seperti textbook atau skripsi. Pasti redaktur akan malas menerimanya. Begitu juga kalau Anda berbicara, jangan yang mengawang-awang, karena ruang publik bukan ruang kelas pelajaran filsafat.***
Bersambung…
One thought on “Intelektual Publik : Filosofi Menulis di Media Massa (5)”