Kasus Mandiri dan PLN: Bagaimana Arsitektur Pertahanan Cyber RI?

MATINYA listrik se-Jawa-Bali dan matinya jaringan Bank Mandiri bagi orang awam seperti saya menyisakan pertanyaan: Bagaimana arsitektur pertahanan cyber RI?

Kasus matinya jaringan Bank Mandiri dan matinya listrik PLN menunjukkan bahwa gangguan terhadap sistem perbankan dan kelistrikan, merupakan titik kuat sekaligus lemah kehidupan kita. Kasus Bank Mandiri dan PLN ini bukan serangan cyberwar, tapi menunjukkan bahwa potensi gangguan ke arah itu adalah nyata.

Pelaku pada perang konvensional jelas terlihat, yaitu negara lawan negara tertentu. Atau organisasi teroris tertentu vs negara. Pada perang cyber, pelaku tidak jelas, apakah negara atau hacker individu. Apakah serangan itu kriminal atau ajakan perang?

Pada perang konvensional, kerusakan bersifat destruktif. Bangunan hancur, mayat-mayat bergelimpangan. Pada perang assimetry, kerusakan bersifat disruptif. Tidak ada bangunan hancur, tidak ada (atau tepatnya belum ada) mayat-mayat bergelimpangan. Kota tetap utuh, tapi orang-orang gelisah dan marah. Kekacauan sosial akan muncul.

Bayangkan saja dengan listrik mati berjam-jam, banyak orang kota tidak bisa buang air besar karena air tidak ngocor akibat tidak jalannya pompa. Banyak orang marah dan gelisah karena uang di rekening bank berkurang. Bagi pengusaha, jelas ini masalah, karena setiap akhir pekan dia harus membayar upah buruh.

Pada perang konvensional, front peperangan jelas: Timur Tengah, (dulu) Timor Timur, Aceh, Vietnam dan lain-lain. Pada era cyber ini, frotline-nya adalah: di mana ada jaringan cyber, di situ adalah front peperangan.

Banking System dan Power Grid (listrik) jelas adalah frontline pertahanan. Indonesia sudah memasuki era transportasi berjejaring dengan resminya penggunaan MRT di Jakarta. Maka sektor transportasi juga merupakan frontline. Waktu pemadaman listrik kemarin terjadi, para penumpang MRT dievakuasi.

Kasus PLN dan Bank Mandiri mengingatkan kita, sebetulnya bagaimana konsep pertahanan peperangan cyber kita? Kalau dalam perang konvensional, doktrinnya adalah pertahanan dan keamanan rakyat semesta (hankamrata), kalau dalam perang cyber apa doktrin kita? Bagaimana arsitektur pertahahan cyber kita menghadapi cyber activism, cyber hacktivism, dan cyber terrorist? Bagaimana menghadapi kaum “industroyer“?

Dalam arsitektur pertahanan energi, mungkinkah membangun sumber pembangkit listrik mini berbasis desa atau bahkan rumahan sekali pun, dengan memanfaatkan energi lokal atau sinar matahari? Apakah mungkin ada pemisahan sistem kelistrikan antara sektor transportasi dengan sektor lain? Bagaimana desain pengamanan industri perbankan, transportasi, dan lain-lain?

Dengan kata lain: bagaimana arsitektur pertahanan cyber RI? Barangkali ada yang lebih tahu soal ini.

Budhiana Kartawijaya

Sekretaris Perusahaan Pikiran Rakyat. Meniti karir sebagai wartawan di Pikiran Rakyat.

Leave a Reply

%d bloggers like this: