Literasi Kebhinekaan Melalui Film

Kerusuhan Papua pada paruh akhir bulan Agustus lalu cukup mengagetkan kita semua. Dipicu oleh ujaran bernuansa suku, ras, agama, dan etnis (SARA) oleh sekelompok orang di depan asrama Papua Surabaya, huru-hara melanda bumi Cendrawasih ini.

Sebelumnya, konflik horizontal juga terjadi di Poso, Maluku dan Kalimantan (Dayak vs Madura). Kekhawatiran akan konflik etnis masih cukup besar mengingat ada kesenjangan pembanguan antar Jawa dan luar Jawa yang masih lebar. Demokratisasi kita pasca reformasi, juga belum menunjukkan tingkat kematangan. Pihak-pihak yang bertarung dalam pemilihan presiden, legislatif dan kepala daerah masih memobilisasi massa melalui politik identitas. Perjuangan merawat kebhinekaan itu harus terus menerus.

Pemahaman realitas Indonesia yang majemuk juga harus tertanam sejak usia dini. Indonesia kini memasuki era bonus demografi. Struktur penduduk yang didominasi usia produktif diharapkan akan menjadikan bangsa kita diperhitungkan di dunia. Tentu saja komposisi usia produktif ini akan jadi bonus demografi jika kita mengelola kelompok usia ini dengan baik.

Anak-anak usia muda harus dididik soal pembangunan karakter (character building). Karakter yang kita harapkan adalah imajinasi bersama (common imagination) tentang Indonesia yang majemuk; Indonesia yang tanpa stigma satu suku terhadap suku lain, atau satu pemeluk agama terhadap sesama pemeluk agama dan pemeluk agama lain.

Intinya adalah bagaima pemerintah bisa menggelorakan literasi kebhinekaan. Salah satu upaya literasi kebhinekaan adalah melalui film bergenre anak-anak. David McClelland dalam buku The Achieving Society menyebutkan, negara-negara maju itu menjadi seperti itu karena ada motivasi warganya untuk mencapai sesuatu kebaikan. Produktifitas juga dipengaruhi motivasi bangsa, dan motivasi itu di antaranya tertanam melalui folklore, dan pola asuh orang tua terhadap anak.

Strategi budaya seperti ini dilakukan Malaysia. Negeri jiran itu menhadapi persoalan kebhinekaan juga. Terinspirasi suksesnya Silicon Valley Pada1996, Malaysia membentuk Malaysian Super Corridor (MSC). Badan ini memberikan insentif dan dana bagi pelaku industri multi media pembuat animasi dengan konten lokal yang kuat.

Pada 2007, perusahaan Les Copaque meluncurkan film animasi “Ipin dan Upin”. Ipin dan Upin merepresentasikan Melayu, China, India, dan Indonesia. Pada saat awal tayang, penduduk Malaysia berjumlah 23.9 juta dengan komposisi Bumiputera (66%), China (25%), India (8%). Sisanya adalah orang asing, dan terbanyak adalah orang Indonesia (pekerja dengan jumlah 1.9 juta orang).

Televisi pemerintah membeli hak siar “Ipin dan Upin”. Ada 1.050 jurnal terkait Ipin dan Upin, sebagian mengonfirmasikan hasil positif terhadap multikulturalisme di kalangan anak-anak. Penelitian Wenny M Arlena dan Dahlan Abdul Gani mengonfirmasikan bahwa Upin-Ipin membawa citra dan pesan sempurna, yakni dengan budaya yang berbeda dapat menciptakan hubungan yang baik dengan harmoni perbedaan dalam kesatuan dan kesederhanaan.

Indonesia tentu memiliki warga yang penuh talenta dalam indsutri animasi dan perfilman. Malah film Indonesia tidak pernah kekurangan penonton. Sudah saatnya pemerintah merangsang insan film untuk memproduksi karya-karya bertemakan kebhinekaan. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) harus lebih diarahkan lagi untuk memotivasi anak-anak menghargai kebhinekaan. Festival Film Indonesia (FFI) harus memberikan penghargaan terhadap film bertema kebhinekaan.Kalau dulu ada film “Pemberontakan G-30-S/PKI” yang sukses membentuk sikap anti komunis rakyat Indonesia, tentu kini pemerintah bisa mendorong dan memberi insentif insan film yang mampu membuat film berkualitas dengan tema kebhinekaan. Bebaskan anak-anak sekolah untuk menonton di bioskop, atau siarkan ke seluruh Nusantara melalui TVRI, dan besoknya diskusikan di kelas. Kelak kita akan menjadi bangsa besar, karena seperti McClelland katakan, ada motivasi menjadi bangsa maju dan besar.***

Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat (2009-2013), Produser Eksekutif film Iqra.

Tulisan ini dimuat di Rakyat Merdeka Online (RMCO.id) dan Harian Rakyat Merdeka Minggu 8 September 2019

Budhiana Kartawijaya

Sekretaris Perusahaan Pikiran Rakyat. Meniti karir sebagai wartawan di Pikiran Rakyat.

Leave a Reply

%d bloggers like this: