Manusia adalah Keturunan Monyet, ataukah Monyet Keturunan Manusia? Seni Berpikir Lateral Dalam Menulis

COBALAH sekarang Anda angkat tangan. Bayangkan Anda sedang memegang pulpen, crayon, pinsil warna atau apa pun. Gerakkan tangan Anda seolah-olah sedang menggambar pemandangan.

Eng..ing..eng!!

Anda sedang menggambar dua buah gunung, di tengahnya ada matahari. Kemudian ada sawah, atau sungai! Iya kan.. 😀 Ada tidak yang menggambar pemandangan bawah laut, atau pemandangan kota dari sisi mata burung, atau gua gelap gulita?

Atau, bayangkan ada seseorang di lantai 30 yang lari melompati jendela, dan jatuh. Kebanyakan orang menduga si pelompat tersebut mati remuk di tanah. Padahal bisa saja dia tidak kurang satu apapun, malah tertawa cengegesan. Kata orang Jawa : wong lompatnya ke dalam, bukan keluar bangunan.

Mengapa kebanyakan kita berpikir seperti di atas? Karena sistem pembelajaran kita (learning culture, bukan cuma sekolah) memapankan asumsi (anggapan): pemandangan adalah cuma gunung. Lompat jendela adalah keluar, bukan ke dalam.

Cara berpikir yang bertolak dari suatu anggapan, itu disebut berpikir linear atau vertikal. Kebanyakan manusia memang berpikir linear. Sedangkan cara berpikir keluar dari anggapan lama dan bergeser ke anggapan baru, itu dinamakan berpikir lateral. Istilah berpikir lateral pertamakali diperkenalkan oleh Edward de Bono (1957).

Selain memiliki cara berpikir linear, orang-orang besar biasanya mempunyai cara berpikir lateral. Mereka melakukan pemikiran terbalik (reversal) atau lompat (hyperjump).

Reversal

Hingga pertengahan Abad 15, manusia Eropa percaya bahwa bumi adalah pusat alam raya (geosentris). Tapi kemudian  matematikawan dan astronom Polandia Mikolaj Kopernik atau yang dalam Bahasa Latin dikenal sebagai Nicolas Copernicus, membalikkan pemahaman lama itu: semua planet mengitari matahari (heliosentris). Maka sejak itu orang mulai yakin bahwa planet-planet mengitari matahari.

Tapi pengaruh Copernicus masuk ka dalam filsafat ilmu. Kalau ada ide yang terbalik, maka disebut sebagai pemikiran yang copernican.

Einstein juga begitu. Ketika orang beranggapan bahwa waktu adalah mutlak, dia berpikir terbalik: waktu berbeda-beda di setiap posisi alam raya. Di tempat yang massa-nya besar, waktu berjalan lebih lambat dari planet yang massanya lebih kecil.

Ada lagi konsep-konsep gila di dunia fisika. Dulu kita bisa menentukan posisi sebuah benda. Ada mobil putih di jalan anu pada jam sekian. Dalam fisika quantum, partikel sub atomic bisa berada di beberapa tempat dalam waktu yang sama, dalam jarak triliunan kilometer. Atau ada  dalam tempat yang sama dalam waktu yang berbeda! Nah lho…. Ini gara-gara Werner Karl Heisenberg. Dia yang mengeluarkan prinsip ketidak pastian (uncertainty principle).

Nah nanti Gene Roddenberry menulis naskah Star Trek. Di situ dia meluncurkan ide teleportasi. Manusia berpindah tempat secara real time. Perlahan ide teleportasi diteliti oleh Massachussets Institute of Technology (MIT) dan California Institute of Technology (Caltech).

Hmmm….Ayo bikin cerita tentang bangkrutnya perusahaan maskapai penerbangan, kereta api dan… musnahnya angkot 05 (ini angkot public enemy-nya Bandung hahaa..) di era teleportasi. Atau kolapsnya Go Food, JNE, JNT. Kalau saya mau nulis tentang menganggurnya mamang becak yang biasanya mengantar ibu ke pasar!

Atau…ayoo kita nulis orang yang sakit perut hari ini gara-gara rujak pedas yang dia makan besok hari!! 😀

Ada juga cerita Spongebob dan Patrick yang mau bepergian. Mereka cukup berdiri di stasiun kereta api. Nah stasiun dan kota sekelilingnya yang bergerak menjauhi dua sahabat gendeng itu, kota barunya yang mendatangi mereka.  Idenya reverse banget.

Atau ada Cerpennya F. Scott Fitzgerald, the Curious Case of Benjamin Button. Ini kisah Benjamin Button yang terlahir dengan wajah orang tua, dia meninggal saat sosoknya membayi. Belakangan cerpen ini diangkat jadi film Benjamin Button, dibintangi Brad Pitt dan Cate Blanchet.

Hyperjump 

Hmm..apa ya terjemahannya? Hyperjump adalah salah satu cara berpikir melomprat… kalau melompat mah dekat. Nah kalau melomprat itu tidak sekadar jauh, tapi gila, edan dan tidak terbayang.

Balik lagi ke Einstein ya…

Waktu kecil, anak-anak sepermainan Einstein bernyanyi naik kuda, berburu burung. Atau, kita di Indonesia waktu kecil bernyanyi naik delman, naik kereta api, dan mengejar  layang-layang putus. Einstein tidak begitu: dia berkhayal mengejar cahaya (chasing the beam of light) dan naik cahaya (riding the beam of light). Keren kan… Einstein benar-benar berpikir melomprat.

Ada lagi cerita tentang mobil-mobil dan kendaraan berat lainnya jadi robot besar. Maka lahir lah film Transformer yang digemari banyak orang. Filmnya selalu box office.

Selain teknik reverse dan hyperjump dalam berpikir lateral, ada lagi teknik-teknik lateral lainnya. Cuma, nanti kita sambung ya…

Cuma, kalau saya bikin karangan tentang : manusia turunan monyet, atau monyoet turunan manusia, kira-kira Anda ingin membaca yang mana?

Atau kalau saya bikin karangan kisah ribuan mahasiswa menyatroni gedung DPR untuk demo, atau mahasiswa menyerbu DPR karena gedung kura-kura DPR itu sudah menjelma menjadi kue yang lezat, kira-kira mau baca yang mana?

Budhiana Kartawijaya

Sekretaris Perusahaan Pikiran Rakyat. Meniti karir sebagai wartawan di Pikiran Rakyat.

One thought on “Manusia adalah Keturunan Monyet, ataukah Monyet Keturunan Manusia? Seni Berpikir Lateral Dalam Menulis”

Leave a Reply

%d bloggers like this: