

WALI kota Bandung Mang Oded mempunyai ide untuk membagi-bagikan anak ayam kepada anak-anak di Kota bandung agar tidak kecanduan gadget. Ide ini berawal dari keresahan Oded atas berita semakin banyak anak di Kota Bandung yang jadi pasien rumah sakit jiwa (RSJ) karena kecanduan gadget. Anak-anak diharapkan bisa memelihara anak ayam itu sampai besar, dan Pemkot Bandung akan membelinya.
Menurut saya, ide ini agak sulit dilakukan, alias kurang realistis. Berapa ribu anak ayam yang harus dibeli? Bagaimana mendistribusikannya? Siapa yang bakal memanennya? Kalau anak-anak itu tidak punya lahan di rumahnya, mau memelihara di mana? dst… dst.. dst..
Sebetulnya, untuk anak SD, walikota bisa mengeluarkan ketentuan agar siswa sekolah dasar dilarang membawa HP ke sekolah. Kepala sekolahnya diminta bertanggungjawab untuk itu. Kepala sekolah bisa mengomunikasikan kepada para orangtua siswa.
Untuk anak SMP dan SMA, ada cara lain yang lebih menguntungkan. Walikota bisa mengadakan lomba video rutin. Temanya bersifat kebandungan: bisa gedung bersejarah, transportasi, kuliner, hutan kota, air, sanitasi, kesetiakawanan warga kota, tokoh inspiratif kota, tentang sekolahku, tentang ibuku, tentang Persib, dan lain-lain. Di Bandung yang dinamis ini, kita tidak akan pernah kehilangan tema.
Atau pak Wali bisa menantang anak-anak ini membersihkan gorong-gorong, menanam pohon, membersihkan halaman sekolah, dan hasilnya jadi video dokumenter. Dampak positifnya: sekolah bersih, selokan bersih, dan video seru.
Atau pak Wali bisa minta anak-anak ini bikin video jalan-jalan rusak, selokan-selokan bersampah, dan lain-lain. Nanti pak Wali akan dapat gambaran situasi kota sampai kepada gang-gang.
Mengapa film dan video?
Film adalah muara semua talenta. Di situ ada talenta fotografi, teater, lighting, story telling, menulis (skrip), host speaking, tata musik, logistik, rias, animasi, tata suara, penyutradaraan video grafis, dan lain-lain. Jadi film adalah produk kerjasama tim. Karena itu, nanti pesertanya harus berkelompok. Bisa kelompok sekolah, organisasi, atau RW. Idealnya sih sekolah dan RW. Biar ada kerjasama di sekolah, dan keriuhan kerjasama di RW.
Bikin lomba tahunan. Pak Walikota tinggal halo-halo kepada kepala sekolah atau lurah bila di sekolah atau kelurahannya belum mengirimkan karya.
Hadiahnya?
Bisa kamera, atau pelatihan advance perfilman. Bisa juga mengajak jalan-jalan anak-anak ini ke kota-kota ramah di luar negeri.
Pak Wali bisa gedor sponsor-sponsor di Bandung. Semakin banyak sponsor, semakin sering ada lomba. Bisa enam bulan sekali, atau tiga bulan sekali. Videonya diupload di Youtube, terus viralkan ke seluruh dunia.
Jadi pemkot bisa dapat konten promosi Bandung yang dibikin anak-anak ini.
Kalau mampu mengerahkan potensi netizen ini, pak Wali bukan cuma seorang government, tapi governance: menata kelola semua potensi kota. Bukan cuma memerintah birokrasi kota (government). Ini namanya urban dynamic governance.
Anak-anak tak mungkin lepas dari gadget, tapi dengan lomba ini, mereka akan dipaksa riset dan sibuk bekerjasama dengan rekan sekelompoknya, demi karya yang bagus. Dan yang penting, pasti kita akan terkaget-kaget bahwa anak-anak kita punya cara pandang yang lain tentang kota kita: Bandung tercinta.***