SABTU (2/11/2019) saya diminta Ahda Imran, penyair sahabat saya, untuk berbicara soal peran media dalam pemberdayaan. Profesi saya sebagai wartawan dan aktivitas saya di Yayasan Odesa Indonesia (Odesa.id) menyebabkan banyak undangan untuk menjelaskan dua hal ini.
Setiap bicara pemberdayaan, sebetulnya ada rasa “risih” dan nuansa arogan, seolah-olah kita (terutama saya) adalah orang yang berdaya, dan masyarakat binaan adalah pihak yang tidak berdaya, termasuk tidak berdaya dalam bermedia.
Betulkah masyarakat, terutama masyarakat adat (indigenous) itu tidak berdaya sehingga perlu kehadiran kita untuk “memberdayakan” mereka?
Ilmu ekonomi, termasuk sosiologi ekonomi, menjelaskan bahwa kegiatan ekonomi masyarakat sebetulnya adalah siklus produksi-distribusi-konsumsi. Pada masyarakat tradisional, banyak ritual/festival yang dilakukan masyarakat untuk “mengawal” siklus ini. Pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, misalnya, banyak ritual yang mengiringi siklus produksi-distribusi-konsumsi padi. Ada upacara membuka ladang, upacara ngaseuk, upacara mipit/nyalin (upacara sebelum panen pertama), upacara seren taun (setelah panen), nganyaran (makan nasi yang pertama kali dari hasil panen), dan upacara ngahudangkeun (membangunkan padi yang telah didiukeun di dalam leuit).
Semua upacara itu berfungsi dua hal. Pertama, sakralisasi siklus produksi-distribusi-konsumsi. Dengan sakralisasi ini, maka setiap warga tetap guyub dan gotong royong pada setiap tahapan siklus. Satu mata upacara itu saja dicerabut dari siklus, maka ketahanan pangan komunitas akan terancam. Kedua, upacara/festival merupakan media adat (indigenous media) untuk mengomunikasikan pengetahuan-pengetahuan lokal (indigenous communication).
Indigenous media dan indigenous communication ini berisikan pesan-pesan dan pengetahuan adat (indigenous knowledge) yang dituruntemurunkan kepada generasi berikutnya. Pengetahuan itu bisa berupa nilai-nilai, adat istiadat, sampai pengetahuan teknis produksi-distribusi-konsumsi. Pengetahuan itu bisa berupa pranata mangsa, jenis-jenis padi, tata air, dan sebagainya. Pranata mangsa sendiri merupakan pengetahuan dalam bentuk menghitung waktu yang tepat dalam setiap tahapan siklus, seperti: waktu/hari baik menanam, hari baik memanen, hari baik mendirikan rumah, dan lain-lain.
Dulu, praktik-praktik kemandirian seperti ini banyak sekali. Desa bisa membiayai pembangunannya dengan gotong royong. Di Pangandaran zaman dulu ada istilah “Lantir” alias Sebulan Sebutir. Setiap bulan, keluarga yang punya pohon kelapa maupun yang tidak wajib setor sebutir kelapa. Hasilnya dijual dan jadi kas desa. Uang untuk hal-hal darurat warga desa, seperti kelaparan, bencana dan sebagainya. Atau juga untuk uang duka dan uang membeli kain kafan buat warga yang meninggal.
Tradisi-tradisi ini hilang, karena tahayul pembanguan masuk. Memang tidak salah, tapi pembangunan itu dijalankan secara seragam dan berdasarkan pemikiran pra-perencana pembangunan di Jakarta. Pengucuran dana desa, misalnya, menggerus wibawa siklus produksi-distribusi-konsumsi. Keseimbangan terganggu dan upacara/festival perlahan hilang. Indigenous media dengan indigenous knowledge pun pudar. Anak muda tak tahu lagi cara menghitung hari baik, tak tahu lagi jenis-jenis padi, tak tahu lagi fungsi capung dan lebah, dan lain sebagainya.
Kini, media luar (exogenous media) hadir. Ada televisi, parabola, dan terakhir: internet. Namun, exogenous media ini tidak membangkitkan indigenous knowledge, melainkan membawa exogenous knowledge. Bentuknya beragam, seperti: sinetron dan iklan makanan instant, semisal: kopi instant, mie instant, gula rasa susu, dan lain sebagainya.
Jadi, kalau mau jadi aktivis pemberdayaan, sadarilah bahwa kita orang kota yang melumpuhkan desa. Maka kewajiban kita mendengar mereka. Biarkan mereka mendefinisikan pembangunan sesuai visi kosmologi mereka. Adalah mereka yang berhak memutuskan konsep, tujuan, dan indikator keberhasilan pembangunan.
Kita sebagai pemegang exogenous media, gunakanlah gadget ini untuk menemukan kembali indigenous knowledge. Maka, ketika kita masuk ke desa, bukan dalam rangka mengajari, tapi untuk belajar bersama.