Rabu malam (7/11/2011), pengelola media Himpunan Mahasiswa Elektro Institut Teknologi Bandung (elektronhme) mengundang saya untuk membimbing mereka menulis populer. Paling senang bila ada mahasiswa yang ingin berbagi ilmu dengan publik. Sudah lebih dari satu dekade ini, saya berkampanye tentang perlunya intelektual kampus menjadi intelektual publik. Mereka belajar di perguruan tinggi itu disubsidi uang rakyat. Jadi, sudah selayaknya para mahasiswa ini mempertanggung-jawabkan capaiannya kepada publik.
Tulisan mereka bagus-bagus. Kebanyakan mereka bercerita tentang cara kerja sebuah alat, atau penjelasan sebuah peristiwa eletronik. Ada yang menulis tentang cara kerja kartu debit, brain zapping, endoskopi, dan lain-lain. Kebanyakan mereka ini memang dari teknik tenaga listrik dan teknik biomedik. Jadi, sebagai penulis, mereka cukup punya otoritas. Secara teknis, tulisan mereka baik dengan sasaran pembaca muda (15-25 tahun) dan lokasinya di Bandung.
Ada tiga kritik dan saran yang saya utarakan.
Pertama,semua tulisannya menguraikan cara kerja alat (howstuffworks writing). Akibatnya, banyak istilah-istilah teknis dan uraian yang memaksa pembaca untuk berabstraksi. Tulisan semacam ini tidak salah, tapi audiensnya terbatas. Menurut saya, masyarakat itu terbagi tiga: Masyarakat umum, kelompok minat khusus, dan kelompok akademik. Tulisan para mahasiswa mencapai kelompok minat khusus. Sedangkan audiens umum tidak terlalu banyak yang ingin mengetahui cara kerja sesuatu.
Masyarakat umum lebih ingin mengetahui akibat dari lahirnya sebuah teknologi. Sebuah penemuan pasti mempunyai efek positif maupun negatif. Teknologi robot, misalnya, akan melahirkan sisi positif berupa efisiensi produksi. Efek negatifnya adalah tersingkirnya manusia dari pekerjaan.
Contoh lain, bila teknologi teleportasi sudah ditemukan. Teleportasi adalah teknologi transportasi real time seperti dalam film Star Trek besutan Gene Rodenberry. Manusia dan barang bisa berpindah ke tempat lain hanya dalam waktu satu atau dua detik. Efek positifnya, tentu kita bisa bepergian ke mana saja dalam waktu beberapa detik. Efek negatifnya? Industri transportasi konvensional (kereta api, pesawat, gojek, dan lain-lain) akan hancur. Industri logistik, seperti: JNE, UPS, atau DHL, juga hancur.
Karena itu, saya mengajak para mahasiwa ini untuk banyak membaca ilmu non-eksakta lain, seperti: sosial, ekonomi, psikologi, dan lain-lain. Juga mereka harus membaca karya sastra untuk mengembangkan imajinasinya. Dengan demikian, mereka akan mengetahui tujuan dari ilmu dan teknologi yang mereka pelajari. Misi seorang intelektual adalah memberi tahu publik tentang potensi dan bahaya sebuah teknologi, sehingga publik bersiap diri menghadapi dunia baru.
Kedua, Kalau menilik bahasa yang mereka gunakan, tampaknya memang cocok dengan gaya remaja yang menjadi sasarannya. Namun, mereka belum menerapkan asas ekonomi kata atau KISS (keep it simple and short). Kalimat-kalimatnya masih boros, padahal masih bisa disederhanakan. Semakin sederhana sebuah kalimat, semakin mudah untuk dipahami pembaca. Malam itu, saya minta Tara, sang editor, untuk meng-copy-paste satu paragraf dari artikel di eletronhme. Paragraf itu berisi 99 kata dengan 666 karakter. Setelah disederhanakan, jumlahnya menjadi 56 kata dan 450 karakter. Tak mengubah arti.
Ketiga, pemilihan audiense pembaca Bandung. Dalam artikel-artikel itu tidak terasa “kebandungan”-nya. Saya sarankan mereka mengamati peristiwa-peristiwa di Bandung, dan meresponsnya dengan tulisan. Misalnya, ketika musim hujan seperti ini, Bandung pasti akan riuh dengan petir nan menggeledek. Nah, saatnya anak-anak elektro arus kuat membahas petir. Atau kalau PLN sedang mematikan aliran listrik di Bandung, saatnya berimajinasi menuliskan transfer tenaga listrik nir kabel dari Pusat Tenaga Nuklir di belahan lain dunia misalnya. Who knows, namanya juga imajinasi.
Last but not least. Usahakan sisihkan setengah atau satu jam untuk menulis sekadar 500-700 kata. Maka kalian tidak cuma seorang intelektual akademik, tapi juga intelektual publik.***