Sebelum ada internet, media massa merajai bisnis informasi. Semua orang menunggu kedatangan koran pagi, mendengarkan siaran berita di radio dan televisi. Semakin akurat dan berbobot sebuah media, maka semakin kuat pengaruhnya di masyarakat. Pengaruh yang kuat ini kemudian menjadi modal kuat untuk bisnis dan kegiatan sosial.
Kuatnya kegiatan bisnis terlihat dengan jumlah iklan yang besar, baik iklan mini maupun iklan display. Tarif iklan display satu halaman berwarna, bisa ratusan juta Rupiah. Kompas dan Bisnis Indonesia adalah media dengan tarif iklan display termahal. Dan, pemasang iklan kudu antre. Belum tentu bisa minta hari ini untuk pemasangan besok. Kompas, bahkan dua kali pernah terbit dengan 100 halaman, karena ada liputan khusus. Iklannya? Hmmm… Menggiurkan. Para pemasang iklan mengacungkan tangan tanda berminat, jika ada program liputan khusus.
Sementara, jagonya iklan mini adalah Harian Pos Kota kepunyaan Haris Mohammad Kohar alias Harmoko, yang kelak jadi Menteri Penerangan era Soeharto. Di Jawa Barat, tentu saja Pikiran Rakyat rajanya. Pos Kota itu koran segmen bawah, beritanya isinya kebanyakan berita kriminal. Namun, orang membeli koran itu karena ingin membaca iklan mininya, terutama iklan jual beli kendaraan bermotor. Jangan salah, Pos Kota itu dulu koran dengan oplah terbesar di Indonesia. Konon dengan 750.000 eksemplar/hari. Sementara Kompas sekitar 500.000.
Demikian juga, Pikiran Rakyat. Dahulu iklan display dan mininya kuat. Sewaktu jadi pemimpin redaksi, saya sering kali ngedumel kepada manajer iklan. Pasalnya, redaksi sudah hampir selesai menyusun halaman, tiba-tiba datang iklan. Di rapat sore, biasanya sudah ditetapkan rancangan halaman. Namun tengah malam bisa berubah. Ada iklan masuk, terutama iklan duka cita, atau iklan yang berani bayar lebih tinggi dengan membayar toeslag.
Saking kayanya media dengan iklan di era Orde Baru, pembaca mengeluh karena merasa haknya dikurangi. Menteri Penerangan Bung Harmoko membatasi porsi iklan hanya 35% dari total ruang di media. Namun, dalam kenyataannya, toh dilanggar. Memang pernah ada teguran dari Direktur Jenderal Pers dan Grafika (PPG), tapi itu tidak pernah serius dan tidak pernah ada sangsi. Wong Menteri Penerangannya juga owner Pos Kota, kecipratan rejeki luar biasa.
Selain meraih kepercayaan bisnis, media massa juga mendapat kepercayaan filantropis. Pada setiap kali ada bencana, media massa berlomba-lomba membuka dompet bencana alam. Pikiran Rakyat, Kompas, Metro TV, Jawa Pos, dan lain-lain, menerima sumbangan pembaca luar biasa besarnya. Bahkan hampir semua media mendirikan yayasan untuk menampung dana masyarakat ini. Laporan kegiatan pun diterbitkan di media masing-masing.
Khusus Pikiran Rakyat, bila ada berita tentang penderitaan warga, selalu ada masyarakat datang ke kantor. Mereka menitipkan sejumlah uang, tanpa mau disebut namanya. Misalnya pernah ada berita tentang keluarga yang menghuni kandang domba di Sukabumi. Jam 10.00, ada beberapa orang menitipkan sejumlah uang. Mereka dari etnis Tionghoa, tak mau disebutkan namanya. Sumbangannya lumayan, cukup untuk memindahkan mereka dari kandang domba, dan mengontrakkan rumah untuk beberapa tahun. Si penyumbang tak mau disebut namanya, dan tidak perlu dikirimi laporan. “Saya percaya kepada PR,” katanya.
Untuk menjamin kepercayaan masyarakat terhadap penyaluran dana filantropis ini, pada 29 Januari 2013, Ketua Dewan Pers Prof Dr. Bagir Manan S.H, menetapkan Kode Etik Filantropi Media Massa. Jadi ada dua kode etik yang menaungi pers, yaitu Kode Etik Jurnalistik dan Kode Etik Filantropi.
Sekarang apa kabar fungsi bisnis dan sosial ini?
Sejak adanya internet, rata-rata media massa mengalami gagal pandang tentang gejala ini. Kehadiran zaman digital dipandang secara sempit: sebatas meng-online-kan konten-konten cetak. Sektor bisnis hanya berpikir menjual iklan dalam bentuk online. Bagian sirkulasi tetap berpikir jual koran. Sekelas Kompas pun begitu. Mereka bikin Kompas.com dengan perusahaan terpisah. Kemudian membuat Kompas.id yang dikelola redaksi Kompas. Bisnisnya masih sekitar langganan dan iklan.
Media-media lain juga begitu. Ramai-ramai mengejar ranking Alexa. Alasannya, kalau masuk ranking Alexa, artinya rating tinggi, dan bagus untuk iklan! (Lagi, pola pikir konvensional masuk ke ranah digital). Maka media massa ramai-ramai terjun ke konten sensasional. Demi si Alexa. Kesimpulannya, di kantor media massa, ada kesan yang harus berdigital-ria adalah konten redaksi. Padahal era digital mengubah sama sekali pola bisnis. Semua lini, termasuk bisnis, harus berpkir secara digital dan menemukan model bisnis baru.
(Eh, Pikiran Rakyat ranking Alexanya rendah, tapi pas langganan, rankingnya naik!)
Sedang sibuk-sibuknya, atau tepatna sedang bingung-bingungnya media masa, tiba-tiba muncul aplikasi-aplikasi marketplace dan filantropis. Aplikasi marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, Blibli, Traveloka, dan lain-lain. Mereka dengan diam-diam menggerus pasar iklan mini media massa. Sementara, iklan mini rata-rata tidak diurus dengan baik oleh media, maklum receh. Yang diutamakan ya iklan-iklan besar, karena nilanya besar. Padahal, iklan mini itu cash! Iklan mini atau classified ads di media massa manapun di dunia, menjadi pilar penting bisnis media.
Sedangkan pembayaran iklan display itu mundur tiga bulan. Semua media massa memandang sebelah mata para pengiklan receh di iklan mini. Ada pemasang iklan mini puluhan tahun, tak pernah diapresiasi. Iklan lowongan kerja tak pernah ditransformasikan menjadi aplikasi pencarian kerja. Semuanya diambil Jobstreet, dan aplikasi lowongan kerja lain.
Perusahaan media di manapun lebih menghargai pemasang iklan besar, apalagi yang premium. Prestasi individual bagian marketing juga diniai dari rupiah yang masuk. Bagi sales lepas, iklan display menggiurkan, komisinya tergantung prosentase. Semakin besar iklan display, semakin besar nilai nominal komisinya. Pada hari ulang tahun media, pemasang iklan terbesar diundang dan duduk di kursi VIP. Pemasang iklan mini yang sudah puluhan tahun, tak seorang pun diundang.
Lha, mengurus iklan mini? Tak ada yang mau. Nilainya cuma puluhan ribu rupiah per iklan. Jarang ada yang tembus Rp. 100 ribu! Padahal, merekalah selama ini yang ikut menopang pendapatan media. Aplikasi marketplace akhirnya menyambut mereka.
Di aspek Filantropi juga begitu. Aplikasi berbagi seperti kitabisa.com, Rumah Zakat, dan lain-lain juga menggerus aktivitas sosial media massa. Yang terakhir, kerjasama Filantropi Indonesia dengan GoPay yang digerakkan kaum milenial, mampu menggerakkan donasi dalam jumlah besar. Kalau dahulu, tidak mungkin menyumbang recehan melalui media massa. Kini, dengan aplikasi filantropis itu, setiap orang bisa berdonasi. Bisa Rp. 1000, Rp. 10.000, atau sejuta lebih! Ya, media massa terlalu menyepelekan the power of recehan!
Media massa lebih suka melobi perusahaan-perusahaan besar untuk meraih dana corporate social responsibility (CSR)-nya, atau melobi orang-orang berduit. Lha, mengurus orang yang mau menyumbang seribu, atau dua ribu perak, ribet! Aplikasi filantropilah yang bisa menyambut kaum recehan ini.
Pada saat sedang kaya-kayanya, media massa seharusnya memanfaatkan kebesaran brand-nya untuk membangun marketplace. Mereka masih punya uang banyak untuk investasi. Toh, kontennya sudah ada, yaitu iklan-iklan yang sudah masuk sejak puluhan tahun, khususnya iklan mini. Padahal, jika media massa membangun marketplace, ada kekuatan yang bisa dikembangkan yang tidak dimiliki marketplace baru, yaitu kemampuan story telling produk.
Media massa dengan yayasan-yayasannya, seharusnya juga mengembangkan aplikasi yang bisa melakukan tugas urunan pembiayaan (crowdfunding). Ada kekuatan lebih jika yayasan-yayasan media itu melakukan apa yang dilakukan aplikasi crowdfunding yang lain. Media massa bisa merencanakan liputan tentang masalah-masalah sosial, seperti liputan daerah kumuh, liputan desa kurang gizi, desa terbelakang, dan lain-lain. Dengan kekuatan pengaruhnya, pers bisa mengerahkan pendanaan publik, termasuk dari kaum recehan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial.
Namun, tanda-tanda ke arah pembentukan marketplace dan aplikasi crowdfunding itu tidak ada. Media massa masih berpandangan konvensional, seolah-olah fungsi mereka hanyalah memediakan informasi. Padahal output komunikasi yang hakiki adalah mempertemukan sumberdaya masyarakat dengan problem masyarakat, agar nyambung. Outcome media(si) adalah kebaikan bersama masyarakat. Aplikasi sudah memungkinkan orang yang tidak kaya (si kaum recehan itu) untuk memberikan donasi semampunya.
Marketplace dan crowdfunding seharusnya jadi ekosistem bisnis media, karena kedua hal ini mempertemukan masyarakat pada tingkat grassroot. Jadi marketplace dan aplikasi filatropi ini yang akan menggerus kepercayaan publik kepada pers (media). Keduanya ikut menggerogoti pendapatan media. Padahal kepercayaan publik inilah yang menjadi nyawa bisnis media. Kepercayaan publik yang turun inilah yang akan membunuh perusahaan pers yang tidak siap.
Kalau tidak mau mati, ya segera bertransformasilah. Gunakan manajemen empati, rebut perhatian kaum recehan, karena merekalah yang membentuk landskap baru media.
Diestokeun pisan (y)
Why couldn’t we..?
cape deehh…