Essay Hari Pers Nasional: Belajar dari Loper Koran di Jepang.

jepang
 Foto: Nieumann Lab.

USAI Perang Dunia II, para pemuda Jepang berlomba-lomba ingin kuliah. Namun tidak mudah bagi pemerintah membiayai mereka. Negeri masih hancur akibat bom atom, dan uang habis untuk rekonstruksi. Koran-koran Jepang giat mengomunikasikan berita pembangunan kembali Negeri Matahari Terbit itu. Koran Mainichi Shimbun (1872), Yomiuri Shimbun (1874), Asahi Shimbun  (1879), dan lain-lain memulai pagi hari di Jepang dengan membakar semangat membangun kembali negeri.

Anak-anak muda yang haus kuliah ini datang dari desa dan pinggiran kota. Mereka memilih tempat kost yang dekat dengan agen-agen koran supaya bisa menjadi loper koran demi membiayai kuliah. Namun, lebih dari itu. Menjadi loper koran atau yang populer disebut Shimbun Haitatsu Fu (新聞配達夫), merupakan profesi yang membanggakan bagi remaja Jepang. Loper koran adalah “orang koran” merupakan gengsi pada waktu itu. Pagi-pagi mereka ada semangat “jihad” untuk menyebarkan informasi ke rumah-rumah penduduk tentang pembangunan kembali Jepang.

Semakin kuat pengaruh koran, semakin banyak iklan datang. Koran-koran makin kaya. Para Shimbun Haitatsu pun mendapat upah layak. Mereka bisa menambal uang kuliah dan biaya hidup. Namun, tak berhenti di situ. Koran-koran ini banyak memberikan bea siswa kepada para “paperboy” ini, sehingga mereka terbantu sampai lulus kuliah. Koran Jepang bukan sekadar medium. Mereka adalah semacam oase bagi para pemuda migran.

Kaori Hayashi, seorang profesor Media dan Jurnalisme Universitas Tokyo, mengadakan riset tentang kekuatan keterikatan koran dengan masyarakat lokal, atau istilah lainnya: community building. Riset yang dia lakukan menyimpulkan, bahwa koran adalah media yang paling mampu melakukan community engagement, dan koran berjasa besar bagi pembangunan Jepang di luar jasa informasi. Kekuatan community engagement koran jauh di atas media. Urutannya adalah koran, radio, majalah, TV, dan PC/internet.

Mengapa koran begitu kuat di aspek community building?

Riset Hayashi membuktikan bahwa para loper mempunyai jasa besar dalam merekatkan masyarakat Jepang. Para Shimbun Haitatsu ini tidak sekadar lempar koran. Mereka datang setiap pagi ke pintu-pintu rumah. Mereka bertanya kabar si empunya rumah. Dus ada kontak personal antara loper dengan jutaan rumah tangga Jepang. Para Shimbun Haitatsu ini tahu apa yang terjadi di sebuah lingkungan (komunitas). Mereka menceritakan masalah ini kepada para pengelola koran. Informasi ini kemudian diolah oleh koran. Info ini bisa jadi berita, tapi juga perusahaan koran menjadi mengetahui denyut nadi kehidupan masyarakat. Bila ada kesulitan, perusahaan koran ikut membantu menyelesaikan persoalan lingkungan. Itulah sebabnya menjadi Shimbun Haitatsu Fu adalah sebuah kebanggaan!

Kaori Hayashi (foto: Mediasia.iafor.org)

Hayashi mengatakan, media online di Jepang lemah dalam community engagement. Tentu karena mereka tidak punya pasukan Shimbun Haitatsu yang bisa bertegur sapa di pintu-pintu rumah pelanggan. Televisi juga begitu. Radio, meski tidak punya para haitatsu, siaran mereka lokal. Karena itu para pembaca koran di Jepang pasca perang dunia sangat tinggi.

Meski masih merupakan media yang paling berpengaruh, peredaran koran di Jepang masih tinggi, meski stagnan. Sekitar 10% rumah tangga Jepang masih berlangganan. Namun, pembacanya adalah mereka yang berusia tua. Kata Hayashi, kini hanya 10% dari generasi muda Jepang yang membaca koran.  Engagement dengan komunitas masih sangat kuat. Namun, kini koran-koran Jepang mulai diisi iklan-iklan kesehatan orang tua, seperti: kursi roda, dan lain-lain. Pengabdian masyarakat pun lebih berfokus kepada melayani generasi tua, mengadakan acara-acara hidup sehat bagi orang tua, dan lain-lain.

Koran-koran Jepang juga mengeluarkan edisi surat kabar elektroniknya (e-paper). Tapi mereka tidak menjual edisi e-paper secara lepas. Versi elektroniknya dijual dalam satu paket dengan koran. Semuanya untuk menjaga kelangsungan bisnis agen koran dan loper.

Generasi tua Jepang adalah pembaca loyal koran. Namun, anak-anak muda adalah pembaca masa depan, meski tidak baca koran. Kalau akhirnya koran mati, kata Hayashi, itu adalah kematian terhormat. Koran sudah banyak berjasa membangun Jepang, kendati kemajuan itu yang kemudian membunuh koran.

Di hari pers nasional ini, saya kemudian merenung: loper koran ke rumah sudah puluhan tahun mengayuh sepeda. Pernahkah tebersit di perusahaan koran untuk memperbaiki hidup mereka? Pernahkah perusahaan-perusahaan koran memperhatikan pendidikan anak mereka? Pernahkah perusahaan koran dan wartawan mendengarkan cerita-cerita mereka ketika bertemu pelanggan?

Teknologi 4.0 telah sangat mendekatkan manusia dengan gadget, tapi menjauhkan manusia dari sesamanya. Dan sekuat apa kehirauan koran dalam merekatkan masyarakat di era 4.0?

Jangan-jangan koran tidak sempat berpikir lagi tentang merekatkan masyarakat, karena dia sendiri tengah berpikir menyelamatkan dirinya sendiri.

Selamat Hari Pers Nasional!

Budhiana Kartawijaya

Sekretaris Perusahaan Pikiran Rakyat. Meniti karir sebagai wartawan di Pikiran Rakyat.

One thought on “Essay Hari Pers Nasional: Belajar dari Loper Koran di Jepang.”

Leave a Reply

%d bloggers like this: