

Sejak adanya laporan serangan virus di Wuhan Cina pada 31 Desember 2019, informasi tentang Covid-19 ini sudah menyebar ke pelosok dunia. Penyebaran informasi ini lebih cepat dari penyebaran virus itu sendiri. Ada yang bersifat fakta, ada yang hoax. Ada yang menggunakannya untuk menyerang pemerintah, ada juga yang menggorengnya untuk kampanye rasial. Ada juga informasi yang bersifat konspiratif. Bahkan sekelompok masyarakat mengaitkannya dengan kepercayaan agama.
Pada 2 Februari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan penyebaran informasi secara masif di balik pandemi Covid-19 ini sebagai infodemi (infodemic) atau epidemi misinformasi global (global epidemic misinformation) yang menyebar melalui media sosial dan platform lainnya. Ini merupakan “penyakit” lain yang juga harus ditangani selain menanggulangi pandemi corona. Dalam pidatonya di Konferensi Keamanan Munich 15 Februari, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyeus mencanangkan perang terhadap infodemi ini.
Infodemi bukan hal baru. Dia ada di setiap saat merebaknya wabah. Pada abad pertengahan Eropa terkena wabah cacar, campak dan kusta. Desas-desus yang beredar adalah bahwa penyakit ini buatan para penyihir (witchraft). Maka perburuan dan pembunuhan penyihir (witch hunt) menjadi bagian kelam sejarah peradaban Eropa. Di berbagai dunia, sampai kini masih ada yang berpadangan anti-vaksin dengan berbagai alasan di luar kaidah ilmiah dan konspiratif. Pada masyarakat Indonesia pun masih banyak yang percaya adanya penyakit “kiriman”, santet, dan teluh.
Namun infodemi kali ini terjadi melalui media sosial maupun media massa. Sekali ada wabah, maka ledakan informasi pun terjadi. Kecepatan penyebarannya belum pernah terjadi pada wabah sebelumnya, baik dalam kasus SARS, MERS, Zika maupun Ebola. Infodemi telah menyulut kepanikan lain, misalnya adanya informasi perdagangan masker bekas pakai yang membuat orang jadi ragu membeli.
Infodemi juga telah menciptakan stigma pada berbagai kalangan. Penamaan MERS (Middle East Respiratory Syndrome) telah menimbulkan prasangka buruk pada warga Arab atau Timur Tengah. Penamaan virus berdasarkan binatang juga menimbulkan stigma bagi para pemakan daging hewan maupun para penggemar hewan tersebut. Dalam kasus Covid-19 ini, Cina pun di-bully di seluruh dunia. Media terkemuka Jerman Der Spiegel misalnya menulis; Corona-Virus Made in China, Wenn die Globalisierung zur tödlichen Gefahr wird (Virus Corona Buatan Cina, Ketika Globalisasi Menjadi Ancaman Maut). Eropa dan dunia memang tengah galau akibat serbuan barang-barang buatan Cina. Maka Kedutaan Besar Cina di Berlin pun melayangkan protes kepada Jerman.
Karena itu, 12 Februari 2020, WHO mengubah nama coronavirus menjadi Covid-19. Perubahan ini merupakan kesepakatan antara WHO, Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (IEO), dan Organisasi Pangan Dunia (FAO). Badan-badan dunia ini harus mencari nama yang tidak merujuk kepada lokasi geografis, nama hewan, individu atau kelompok orang. Selain itu, nama tersebut harus mudah diucapkan. Perubahan ini dilakukan agar infodemi tidak sampai menimbulkan stigmatisasi terhadap siapapun.
Tidak hanya WHO, platform-platform media pun berupaya memerangi infodemi. Facebook mengatakan dia akan membatasi penyebaran informasi palsu tentang Covid-19 dengan cara menghapus klaim-klaim palsu dan infodemi yang mengandung teori konspirasi. Platform Zuckeberg ini juga mengatakan akan menandai orang-orang yang membagikan (share) atau mencoba membagikan informasi yang sudah ditandai (flagged) sebagai informasi palsu. Google dan Twitter akan mengarahkan pencarian kepada situs-situs resmi seperti WHO, dan lembaga ilmiah lainnya.
Di masa depan, dengan semakin memburuknya lingkungan, dan semakin mudah dan murahnya transportasi manusia, bukan tidak mungkin bakal muncul wabah-wabah lain. Infodemi akan selalu mengikuti pandemi. Semua pihak harus bekerjasama menanggulangi infodemi ini. Sebab kekacauan informasi bisa jadi melupuhkan kehidupan sosial ekonomi bangsa dan dunia. Langkah pemerintah menunjuk Achmad Yurianto dari Kementerian Kesehatan sebagai juru bicara krisis ini adalah sebuah kebijakan tepat dan harus jadi prosedur krisis. Karena jika setiap pejabat bisa mengeluarkan pernyataan, maka pemerintah justru bisa jadi sumber infodemi.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bekerjasama dengan platform-platform media sosial untuk mengarahkan pencarian ke sumber terpercaya ini. Pemerintah harus menggandeng kelompok pemeriksa fakta (fact-checker) untuk memeriksa sebuah info yang meragukan dan meresahkan.
Media massa maupun netizen sebaiknya mulai mengembangan jurnalisme inspiratif dengan tidak melulu mengangkat sisi mengerikan dari suatu wabah. Media bukan hanya bertanya apa yang salah (what’s wrong), tapi juga harus mengabarkan kekuatan-kekuatan (what’s strong) yang dimiliki masyarakat kita. Sebagai contoh, netizen di Wuhan memposting teriakan “Wuhan Jiayou!” (terjemahan bebas: Wuhan bisa!). Netizen juga pernah memviralkan bagaimana supermarket Jepang menurunkan harga masker, di saat orang butuh. Sungguh ini melawan teori permintaan dan penawaran.
Pers bisa mengubah bencana menjadi sebuah kekuatan. Media massa misalnya bisa mendorong konsumsi buah dan sayur lokal, mengerahkan gotong royong warga, mempahlawankan mereka yang berperang di garis depan maupun garis belakang wabah, melindungi hak privasi penyandang penyakit, dan lain-lain. Pendek kata, media harus meyakinkan seluruh bangsa bahwa kita masih punya modal alam dan modal sosial yang bisa membentengi wabah. Mencari kekuatan bangsa adalah salah satu cara kita mengurangi infodemi.***
Anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Barat.