Budhiana itu Buddha, tapi kok Jumatan dan Puasa?

 

Saya, Eben dan Gde di Saint Davis. Foto: Eben.

TAHUN 1994, saya lulus tes Chevening Award British Council untuk mengikuti pendidikan jurnalistik Advance and Practical Journalism di Thomson Reuters Foundation, Inggris. Ada tujuh wartawan Indonesia dan tiga wartawan Jordania. Dari Indonesia: saya (Pikiran Rakyat), Eben Ezer Siadari (Warta Ekonomi), Gde Anugerah Arka (Bisnis Indonesia), Retno Bintarti (Kompas), Lela Majiah (the Jakarta Post), Sri Pudjiastuti Baumiester (Tempo), dan Yeni Jahidin (Associated Press).

Dari Jordania : Majdi Alawneh (Jordan News Agency), Mamoun Baidoon (Jordan News Agency), dan Abdel Khaleq Moumani (Swat Al-Shaab). Majdi dan Mamoun berdarah Palestina, Abdel Arab. Majdi paling senior dan paling taat, karena selalu ingin shalat tepat waktu. Mamoun dan Abdel biasa-biasa saja, tapi karena Majdi berwibawa, mereka jadi ikut taat. “Aku biasa-biasa saja, tapi karena segan sama Majdi, ya aku ikut-ikut soleh,” kata Abdel.

Kami bersepuluh ditempatkan di Cardiff, sebuah kota di negara bagian Wales, 250 km sebelah Barat London, dengan jarak tempuh 3 jam. Saya, Eben dan Gde tinggal serumah, di Jl. Cathderal Road 149. Rombongan wartawati dan Jordan di jalan yang sama, beda rumah. Rumah tinggal kami memang Bed and Breakfast. Dan pemiliknya pasangan suami istri Glynn dan Gwenda Jones. Mereka sangat baik, sehingga seperti orangtua kami si perantauan. Ukuran kamar ternyata sesuai dengan ukuran badan. Gde yang paling tinggi badannya, dapat kamar paling besar, saya sedang, sedangkan Eben dapat kamar kecil, karena dia paling pendek di antara kami. Begitu gurauan saya kepada mereka berdua. Eben dan Gde lantai 2, saya di lantai 3.

Meski sama dari Jakarta, saya belum kenal Eben dan Gde sebelumnya. Baru kenal mereka pada saat diundang makan malam Direktur British Council, beberapa hari sebelum berangkat.  Eben orangnya suka cerita dan ramah. Ceritanya tentang hal serius, tapi dia bisa bercerita dengan ringan. Gde pendiam, bicara seperlunya, dan paling telat bangun atau sarapan setiap harinya. Tapi tak ada dari kami yang mau meninggalkan Gde. Setiap hari kami berjalan kaki dari penginapan ke kampus, sejauh kira-kira tiga kilometer. Di situlah hubungan kami bertiga semakin akrab.

Hari pertama di kelas, kami dari Indonesia berkenalan dengan para wartawan Jordan yang rata-rata usianya di atas kami. Mereka senang kenal dengan orang Indonesia. Apalagi Majdi dan Mamoun yang berdarah Palestina. “Indonesia selalu dukung Palestina. Terima kasih!” ujar Majdi.

Pergi ke kampus bertiga jalan kaki memang menyenangkan, jalan memotong ke Bute Park, menyusur sungai atau lewat jalan raya. Begitu sampai di lokasi, kami ke toilet, setelah itu bikin kopi, dan…ngintip si Karen, sekretaris yang cantik. Setelah itu kami duduk di meja melahap tumpukan koran dan tabloid untuk di-review dan dibahas di kelasYang suka kami ambil pertama kali adalah tabloid! Dan pasti kami buka halaman tiga terlebih dahulu! Di situ ada gambar wanita berbikini. Makanya orang Inggris suka menyebut perempuan seksi dengan istilah page-three girl. Saya tertawa, Gde manggut-manggut, kalau Eben biasanya memberikan perspektif. Majdi yang paling fanatik, tidak suka membahas topik halaman tiga. Abdel, sangat suka, tapi sembunyi-sembunyi di belakang Majdi. (Nanti saya bikin tulisan khusus soal page-three media ini ya)

Dalam dialog-dialog di kelas, saya merasa ketiga orang Jordan itu tak begitu hangat kepada saya. Beda dengan kepada Ebenezer dan Gde. Apalagi kepada Eben, karena dia senang diskusi. Saya ingin bicara, tapi mereka dingin. Gde, yang paling lancar Bahasa Inggrisnya (maklum dia orang Bali), juga aktif. Waktu ada tugas peliputan, saya memilih meliput bisnis toko halal di Cardiff dan soal multikulturalisme Inggris. Beberapa toko Halal di sana kepunyaan orang Arab dan Palestina. Si orang Jordan ini seperti tak mau membantu saya, padahal saya butuh semacam jembatan komunikasi. Saya butuh mereka memperkenalkan kepada para Arab dan Palestina pemilik toko. Saya pun jalan sendiri, ketemu para tokoh muslim turunan Arab, Palestina, India, dan Pakistan. Saya juga mendatangi gereja dan pusat keagamaan Kristen, Katolik, Yahudi, dan Krishna. Tanpa pengantar dari ketiga Jordan, agak sulit juga untuk menggali data dari para turunan Timur Tengah ini.

Pada suatu hari Jumat, saya pergi mencari tempat untuk shalat Jumat. Di tempat itu saya bertemu dengan tiga kawan Jordania itu. Saya melihat Abdel dan Majdi menggerenyitkan dahi, kaget. Habis Jumatan saya mencari makan siang. Eh…kebetulan bertemu di restoran yang sama dengan ketiga Jordania itu. Mereka mendadak ramah. Mereka bilang, kebetulan mereka sedang membicarakan saya. Selama ini rupanya mereka menganggap saya beragama Buddha, karena nama saya Budhiana. Karena itu begitu melihat saya di masjid, mereka kaget. Sedangkan mereka ramah terhadap Eben karena disangkanya Eben beragama Islam, padahal Eben itu Kristen. Tentu saja saya ngakak habis.

“Oh pantas saja si Bin Azhar pakaiannya seperti pendeta,” ujar Majdi.

Mereka selama ini memanggil Ebenezer dengan panggilan “bin Azhar” . Tentu saja saya tambah ingin tertawa. Rupanya nama bin Azhar lebih kearab-araban. Eben disangka turunan Arab. Padahal dia Batak, sub marga Siadari.

Teman-teman memanggil saya “Budi” .

“Lha kamu Islam, kok namanya Budhi, seperti Budhist begitu?”

“Budhiana itu dari dua kata “Budhi” yang artinya dan “Dhayanna”.  Budhi itu yang tercerahkan (the enlightened) Sedangkan Dhayanna itu dari istilah Hindu, artinya kontemplasi, meditasi atau self-knowledge. Budhiana itu kira-kira orang yang tercerahkan,” jelas saya.

Jadi nama kamu campuran Budhist dan Hindu? kata mereka

“Iya jawab saya!” Tertawalah kami.

Terus mereka bertanya, kalau Gde apa agamanya?

Hindu-Bali, saya bilang. Tambah bingung mereka.

Ya saya bilang kepada mereka, bahwa Indonesia itu multikultur. Meski saya, Eben dan Gde berbeda kepercayaan, toh chemistry bisa nyambung. Keakraban saya, Eben dan Gde menjadi semacam duta diplomasi kepada orang Jordania, dan kepada pengurus Thomson Foundation. Kebetulan saya mengalami bulan puasa di Cardiff ini, Eben dan Gde termasuk yang mendorong saya untuk tidak batal. Padahal puasa di musim dingin laparnya minta ampun. Tapi Eben dan Gde yang mendorong saya bisa menyelesaikan puasa.

Induk semang kami, Gwenda, juga mengkhawatirkan kesehatan saya. Dia baru tahu bahwa muslim harus puasa sebulan penuh pada Ramadan.  Dia bilang, akan bangun tengah malam untuk menyiapkan sahur. Saya bilang tak perlu, biar saya siapkan makanan di kamar saja. “Bagaimana mungkin kamu tidak makan sebulan penuh di musim dingin ini?” ujar Gwenda.

Memasuki puasa, ketiga Jordan itu semakin akrab dengan saya. Mereka menunjukkan masjid kampus Cardiff College sebagai tempat yang ada acara buka bersama. Lumayan, sebulan buka di sana, bisa menghemat 10-20 pundsterling sehari. Kurang asemnya, ketiga Jordan itu tak pernah hadir. Rupanya, mereka banyak buka di orang-orang kaya keturunan Arab dan Palestina di Cardiff. Di sana ada keluarga keturunan Indonesia, saya cuma buka sekali. Rasanya tak enak, karena mereka bukan keluarga kaya, rumah keturunan Bugis pelaut itu tak terlalu besar. Dan nama jalannya itu lho lucu…Miskin Street! Jadi tambah tak tega. Haha….(saya belum selidiki sejarah penamaan Miskin Street ini).

Selama ikut kegiatan Ramadan di masjid Cardiff College saya senang, karena ketua panitia Ramadan-nya, mahasiswa S-3 dari Malaysia. Rasyid namanya….

Habat, Anda yang Melayu bisa jadi ketua panitia. Kan ada banyak orang Timur Tengah di sini.

“Ya sudah  beberapa tahun ketua panitia Ramadan ini dari Malaysia. Soalnya, rapat pembentukan panitianya deadlock terus. Yang Arab Saudi tak mau pilih Irak. Yang Irak tak mau pilih Iran atau Turki. Kami yang Melayu akhirnya yang dipilih bersama!”

Multikulturalisme di antara kami bertiga juga mendapat pujian dari pemilik rumah Glynn dan Gwenda sehingga mereka tak ragu juga mengajak saya dan Gde melihat perayaan Saint Davis di sebuah daerah terpencil, sekitar empat jam dari Cardiff. Sebagai seorang Nasrani tentu Eben sangat senang pergi, apalagi ditemani kami juga. Saya juga senang karena bisa menikmati music orchestra. Glynn itu anggota grup orkestra, dia memegang instrumen French horn.

Kata Glynn : “Saya ragu apa Budi mau ikut nonton orkstra di gereja tua Saint Davis. Takutnya tidak suka,” kata dia. Lagi pula saat itu pas Ramadan. Tapi saya tertawa, Glynn pun tertawa. Maka berangkatlah kami bertiga diajak Glynn dan Thaftt (anak bungsu Glynn) ke Saint Davis. Sebagai penyuka musik klasik, tentu saya senang, karena bisa melihat langsung mulai dari persiapan sampai acara berlangsung.

Momen pendidikan ini sangat berkesan bagi saya. Ketika pendidikan selesai, ketiga Jordania itu menangis memeluk kami bertiga (tak ada lagi pembedaan agama hahaa….).  Waktu meliput Perang Irak, saya berkunjung ke Jordania, mencoba melacak ketiga teman itu. Tapi sayang tidak terlacak, semua instansi yang saya hubungi: British Council dan media di Jordan tidak mengetahui keberadaan mereka. Kata teman yang lama tinggal di Jordan, dan kini diplomat Deplu, dalam kondisi perang Irak, warga Jordan sangat waspada. Jadi tak mungkin memberi informasi personal pada orang yang tak dikenal. Hanya Mamoun yang saya dengar pindah ke Dubai, Uni Emirat Arab.  Glynn dan Gwenda pernah menjenguk kami di Jakarta. Saya, Eben dan Gde masih bersahabat, untuk tahun ke-27. ***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Budhiana Kartawijaya

Sekretaris Perusahaan Pikiran Rakyat. Meniti karir sebagai wartawan di Pikiran Rakyat.

2 thoughts on “Budhiana itu Buddha, tapi kok Jumatan dan Puasa?

Leave a Reply

%d bloggers like this: