NAMA Fahmi Alamsyah mencuat dalam kasus pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat. Fahmi dikenal sebagai penasehat Kapolri bidang komunikasi, diangkat semasa Kapolri Jenderal Idham Azis. Tidak banyak yang tahu alasan pengangkatan Fahmi sebagai penasehat komunikasi. Di kalangan jurnalis, nama Fahmi tidak dikenal. Di kalangan praktisi public relation (PR), juga tidak dikenal. Di situs linkedin, nama Fahmi Alamsyah yang ini tidak ada. Di Dewan Pers juga pria perlente ini tidak tercatat sebagai jurnalis. Karena itu, penasihat Kapolri lainnya, Prof. Dr. Hermawan Sulistiyo, M.A., mengritik Fahmi sebagai tidak kompeten karena tidak ada track record-nya.
Kalangan jurnalis mengenal dia sebagai pengurus koperasi wartawan di kelompok Media Indonesia. Besar kemungkinan Fahmi Alamsyah adalah sahabat Ferdi Sambo. Karena itu, dia dituding ikut merekayasa cerita bohong tentang pembunuhan Bharada Y oleh Irjenpol Ferdi Sambo. Fahmi Alamsyah sendiri sudah membantah tudingan ini (lihat di sini). Dia mengaku dihubungi Ferdi Sambo untuk menyusun materi siaran pers (press release) berdasarkan “fakta-fakta” yang dijelaskan Sambo. Siaran pers inilah yang akan disebarkan ke media-media.
Dalam dunia PR, tindakan ini disebut membalikkan opini publik (spinning the opinion). Para praktisi PR yang melakukkan spinning ini disebut dengan istilah spin doctor atau spinmeister. Disebut doctor (dokter) karena dia diharapkan bisa “menyembuhkan” citra buruk klien, menjadi citra baik. Para spin doctor adalah mereka yang ada di garis depan peperangan PR. Mereka melakukan operasi terbuka maupun tertutup (overt and covert spinning tactics). Operasi terbuka misalnya menyususun siaran pers, membuat event, pidato dan muncul di media. Contoh lain adalah misalnya menggugat balik saat klien digugat. Sedangkan operasi tertutup meliputi belasan taktik. Yang populer misalnya, membuat event besar untuk pengalihan isu. Taktik lain misalnya “menerbangkan layang-layang” (kite-flying). ( Dalam taktik menerbangkan layang-layang misalnya, sering dituding Presiden Jokowi berada di balik melambungnya isu tiga periode, sebelum itu jadi keputusan).
Ada puluhan taktik overt dan covert. Namun intinya adalah para spin doctor ini adalah pemadam kebakaran yang harus membalikkan opini ke arah yang baik seperti semudah membalikkan tangan.
Tapi apakah public relation semudah membalikkan tangan?
Kalau membaca buku-buku tentang PR, terminologi spin doctor tampaknya negatif. Spin doctor dikaitkan dengan pembuatan hoaks, penyebaran kebohongan alias berita palsu, manipulasi dan rekayasa. Spin doctor bisa berhasil dalam jangka pendek, tapi dalam jangka panjang merugikan.
Dalam kasus Fahmi Alamsyah, kegagalan itu bukan karena hanya Fahmi yang tidak punya kapasitas dan track record sebagai aktor PR, tapi karena bahan dasar disodorkan Ferdy Sambo adalah kasus besar pembunuhan, terencana pula. Ditambah citra polisi di masyarakat yang buruk. Kesalahan Fahmi adalah dia menerima penyusunan siaran pers itu dengan tidak kritis. Mungkin tak enak hati karena Sambo adalah sahabatnya. Maka disusunlah siaran pers yang isinya kebohongan, dengan asumsi pembaca akan memahami secara tidak kritis. Disebutkan, di rumah dinas Sambo terjadi tembak menembak antara Brigadir Joshua dengan Bharada E. Disebutkan bahwa E sebagai jago tembak di Brimob, padahal dia baru hitungan bulan saja bergabung di Polri. Kebohongan ditutupi kebohongan, dan seterusnya. Siaran pers itu pula yang diutarakan Kapolres Jakarta Selatan Kombes Herdi Susianto.
Serapat-rapatnya ikan busuk ditutupi, toh baunya akan tercium juga. Zaman sudah berubah, sekarang netizen bisa mengutarakan pendapat dan analisisnya. Sambo dan Fahmi tidak sadar bahwa masyarakat itu sudah semakin cerdas. Menurut aktifis civil society Irma Hutabarat, polisi sudah menganggap rakyat seperti kera bodoh. Padahal netizen juga ada yang memiliki pengetahuan, yang dengan itu menyoroti kejanggalan.
Alih-alih menyelamatkan Sambo dan Polri, Sambo dan Fahmi malah melakukan bunuh diri PR (PR Suicide). Sambo seolah membuka kotak pandora. Ribuan netizen menghujat polisi. Soundbite (suara yang mengigit) yang dilancarkan publik bermacam-macam: polisi tembak polisi, di rumah polisi. Yang tewas, polisi dan CCTV. Soundbite lama yang diucapkan Gus Dur pun mengemuka lagi; cuma ada tiga polisi jujur: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng.
Bukan cuma itu, kotak pandora pun memuntahkan isu praktik-praktik perjudian. Soundbite “Konsorsium 303” pun mengemuka. Muncullah diagram keterkatian perwira-perwira tinggi Polri dalam isu judi ini. Polisi pun ingin menunjukkan serius menangani pemberantasan judi ini. Maka di seluruh tanah air polisi menggerebek judi. Tapi opini publik tetap nyinyir: “Selama ini polisi ke mana saja. Kok membiarkan judi merajalela. Baru sekarang kok ramai-ramai ada penangkapan pelaku dan bandar judi.” Belum lagi DPR yang menyoroti gaya hidup mewah petinggi polri dan para istrinya. Berbagai upaya penertiban internal, seperti penggerebekan polisi yang terlibat narkoba, juga masih dipersepsi negatif masyarakat: Kok baru sekarang? Kemarin polisi ke mana saja.
Polisi jadi serba salah.
Sungguh sebuah kotak pandora yang banyak memuntahkan masalah. Alih-alih menyembuhkan, sang spin doctor menyebabkan bunuh diri PR.
Tragedi Sambo ini pelajaran berharga bagi praktisi PR, maupun para pengguna jasa PR. Public Relation itu bukan pemadam kebakaran, dan bukan dokter yang bisa membalikkan realitas seperti membalikkan tangan. Petugas humas atau praktisi PR tidak bisa mengubah bau busuk ikan menjadi harum parfum. Sebuah organisasi buruk tidak akan menjadi harum karena PR, tapi dia harus menjadi organisasi baik. Public Relation adalah kegiatan terencana, yang melekat pada setiap program. Pertimbangan-pertimbangan kehumasan harus masuk sejak awal penyusunan program. Mitigasi reaksi, emosi dan sentimen publik sudah harus dilakukan sejak awal.
Tapi yang penting adalah, janganlah kita menjadi individu atau organisasi yang busuk.
Jangan menempatkan PR di ujung, tapi harus di awal. Kalau dulu PR sudah diukur, sekarang kecerdasan buatan bisa membantu memantau reaksi publik sejak awal. Emosi, sentimen positif dan negatif, bisa ditambang dari percakapan di media sosial. Saya yakin, polisi sudah memiliki mesin ini, dan sudah mengetahui sentimen-sentimen masyarakat (yang diwakili netizen di dunia maya) terhadap kinerja Polri.***
what a nice article