Fir’aun, Jokowi dan Soeharto

JAGAT maya Indonesia baru-baru ini ramai dengan kontroversi pernyataan Abdullah Hehamahua. Mantan penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu bersama Amien Rais yang tergabung dalam Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Laskar Front Pembela Islam (FPI) mendatangi Presiden Joko Widodo di Istana Negara, 9 Maret 2021.  Hehamahua mengatakan, kedatangan mereka ke Istana Negara adalah bagaikan kunjungan Musa kepada F)r’aun. Pernyataan ini disampaikan dalam channel Youtube Ustadz Demokrasi. (lihat di di sini)

Sontak saja pernyataan Hehamahua ini memicu reaksi. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas yang biasanya  mengkritik pemerintah, kini menyesalkan Hehamahua.  Ia menilai Abdullah tak tepat menggunakan istilah seperti demikian karena Presiden Joko Widodo merupakan orang Islam yang percaya kepada Allah SWT. Salah seorang Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas juga mengritik Hehamahua. (Baca di sini)

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin keberatan atas pernyataan Abdullah Hehamahua. Ngabalin menilai sikap Abdullah Hehamahua tidak menunjukkan Islam yang rahmatan lil’alamin. “Kalau Musa AS setelah dewasa merantau ke Madyan, setelah 10 tahun dia kembali ke Mesir dan dengan mukjizat sebagai seorang nabi. Nah, kawan ini lari ke Malaysia, Hehamahua ini lari ke Malaysia dan pulang menjadi sosok yang menyihir anak-anak muda menjadi radikal dan ekstrem. Itu makanya Abang tulis, dia pulang ke Malaysia–dalam tanda petik–sebagai teroris,” kata Ngabalin, seperti dikutip Detik.com.

Hehamahua kemudian mengklarifikasi bahwa dia tidak bermaksud menyamakan Jokowi dengan Fir’aun. “Tidak berarti Jokowi itu Firaun, tapi kita menempatkan posisi dia penguasa seperti ketika Firaun jadi penguasa, dan kami seperti Musa yang perjuangkan kepentingan rakyat, bangsa, kemudian menegakkan keadilan,” tambah Ketua Majelis Syuro Partai Masyumi tersebut seperti disiarkan situs CNN Indonesia.

Jokowi bukan satu-satunya presiden yang diasosiasikan dengan Fir’aun, sang penguasa zalim Mesir. Tajuk Koran Media Indonesia 23 Maret 1990 ditulis oleh Elman Saragih, berjudul “Fir’aun dan Soeharto” juga membandingkan Presiden Soeharto dengan Fir’aun. Kalla itu Bang Elman, demikian dia disapa akrab kalangan wartawan, adalah redaktur eksekutif I, atau pemimpin redaksi I. Tajuk itu juga ditulis atas ide Jasso Winarto, redaktur eksekutif II. Berikut kutipan tajuk tersebut:

Elman Saragih

“Alkitab pernah menceritakan kegelisahan Firaun, raja yang berkuasa penuh pada waktu itu di Mesir. Sang raja gelisah bukan karena ada perkiraan ancaman musuh yang akan menyerang kerajaannya. Bukan pula karena guncangan politik dalam negeri. Melainkan karena mimpi yang baginya penuh misteri. Kisah singkat mimpi sang raja sebagai berikut. Berdirilah Firaun di tepian sungai Nil.

Tampak olehnya tujuh ekor lembu yang gemuk badannya, lalu makan rerumputan hijau di sekitar tepian sungai. Saat yang bersamaan muncul juga tujuh ekor lembu yang kurus, lalu melahap ketujuh ekor lembu yang gemuk tadi. Dan Firaun pun terbangun dari mimpinya. Ketika tidur dilanjutkan, mimpi pun datang untuk kedua kalinya. Tampak timbul dari satu tangkai tujuh bulir gandum yang bernas dan baik. Kemudian tampak pula tujuh bulir gandum yang kurus dan layu. Bulir yang kurus itu lalu menelan ketujuh bulir gandum yang bernas dan berisi tadi .

Singkat cerita, oleh seorang muda Ibrani bernama Yusuf, ditafsirkanyalah mimpi sang raja bahwa akan datang tujuh tahun kelimpahan dan tujuh tahun pula kelaparan. Oleh Yusuf juga disarankan agar selama tujuh tahun masa kelimpahan, Firaun menimbun gandum sebagai persediaan pangan untuk waktu tujuh tahun kelaparan yang bakal melanda negeri itu.

Awal bulan Maret ini Presiden Soeharto mengingatkan kita semua bahwa tahun 1990 ini diperkirakan bakal terjadi kemarau panjang sehingga akan mempengaruhi produksi pangan dan berakibat pada stok pangan tahun berikutnya. Untuk itu Kepala Negara telah menginstruksikan Bulog dan pihak bank agar melakukan persiapan seperlunya, terutama untuk kelancaran kredit pengadaan pangan.

Kedua topik ini memang tidak sama tetapi serupa. Firaun tengah dihadapkan pada masalah kelaparan yang sudah pasti akan terjadi. Sementara Presiden Soeharto baru dalam tahapan perkiraan kemarau panjang yang kalau tidak disertai langkah-langkah persiapan yang rnatang, memang bisa memberi peluang rawan pangan di masa-masa mendatang.

Kedua topik ini menarik untuk ditelaah karena kedua negarawan baik Firaun maupun Presiden Soeharto sama-sama mengantisipasi masalah yang bakal menghadang di depan. Keduanya juga komit terhadap bangsa dan negaranya.

Dalam kisah di atas diungkapkan juga bahwa Mesir akhirnya terbebas dari bencana kelaparan karena persediaan selama tujuh tahun masa kelimpahan mampu menghidupi seluruh rakyatnya selama tujuh tahun musim paceklik berkat tafsir mimpi yang tepat.

Presiden Soeharto memang tidak mendasarkan kebijakan pangannya pada impian, tetapi beliau mempunyai dasar ilmu pengetahuan tentang cuaca. Kemarau panjang tahun 1990 sebagaimana telah diingatkan Presiden Soeharto tidak bisa kita terjemahkan dalam pengertian ancaman bahaya kelaparan di tahun-tahun mendatang. Tetapi para ahli strategi mengajar kita agar senantiasa memperkirakan risiko yang paling buruk.”

Fir’aun adalah  raja Mesir. Yang dikutip Elman adalah Fir’aun yang baik pada masa Nabi Yusuf. Para sejarahwan memperkirakan, Fir’aun masa Nabi Yusuf adalah Neco II. Sedangkan yang menjadi musuh nabi Musa, adalah Ramses II.

Walaupun apa yang dikemukakan Media Indonesia itu pujian buat Soeharto, namun tak pelak tulisan Elman itu menggegerkan Indonesia. Pasalnya, di benak orang Indonesia, Fir’aun itu tokoh jahat.

Departemen Penerangan akhirnya memberikan peringatan keras kepada Media Indonesia. Elman dan Jasso kena sangsi, dibehentikan dari jabatan. Elman “dibuang” ke Medan.

Budhiana Kartawijaya

Sekretaris Perusahaan Pikiran Rakyat. Meniti karir sebagai wartawan di Pikiran Rakyat.

Leave a Reply

%d bloggers like this: